Note to Self...

Berangkat dari pengalaman, tidak ada yang namanya "kesialan abadi".


Pernahkah kita mengucap syukur atas kekurangan yang kita terima? Atas sesuatu yang tidak pernah kita harapkan hadir di hadapan kita? Atas segala luka yang pernah singgah dalam hidup? Atas segala akibat yang bahkan bukan kita penyebabnya?
Saya berani bertaruh, bahkan saya akan menjawabnya dengan "tidak".

Lalu, apa masalahnya? Itu nasibmu. Itu jalan hidupmu. Itu takdirmu. Kesialan hidupmu.
Iya, memang.
Lalu, apa masalahnya?
Masalah terbesar dari segala pertanyaan dan pernyataan itu adalah dirimu, diri kita, diri saya.
Loh? Dimana masalahnya?
Disini, di dalam diri. Mengapa segala sesuatu yang tidak kita kehendaki lantas menjadi kesialan untuk diri kita? Pikiran menjadi buruk, berlebihan, tidak tenang. "Aku terlahir untuk menjadi sial!".


"Overthinking does kill your happiness."


Sebuah catatan penting untuk diri sendiri.
Tidak sulit untuk bersyukur bahwa kita masih diberikan kehidupan yang layak. Masih bisa bernafas, makan, minum, pergi ke kantor, pergi ke kampus, pergi ke sekolah, pergi ke mall, pergi ke tempat hiburan, pergi bertemu teman, punya gadget canggih untuk update story, dan lain-lain.
Saya bersyukur kok untuk itu semua. Lalu apa masalahnya? Saya masih merasa hidup ini tidak adil.
Masalahnya, apa kita sudah mencoba untuk menjadi orang yang bisa menghargai orang lain?

Coba kita berkaca..
Saat ibu kita sedang kelelahan sehabis mengurus rumah 25 jam sehari, apa pernah kita tanya beliau mau minum apa?
Saat adik kita yang masih sekolah minta diantar pagi-pagi buta, apa kita akan langsung bangun dari tidur dan mengantar mereka?
Saat teman dekat sedang bersedih, apa kita ada disana untuk menghiburnya?
Saat orang lain bercerita tentang hal buruk yang dialaminya, apa kita akan memberikan semangat dan tidak mengadilinya, terlebih membandingkan hidupnya dengan hidup kita?
Saat sahabat kita sudah menceritakan rahasianya dan meminta kita untuk tidak bercerita pada orang lain, apakah kita akan menjaga amanah tersebut?
Saat sahabat kita fisiknya mulai berubah, semakin menarik atau lebih butuh perawatan, apakah kita akan tetap senang berada di dekatnya?
dan
masih
banyak
hal
lainnya

Dari hal kecil itu, tanpa sadar kita lebih mengedepankan ego sendiri..

"Aku lelah sekali bu hari ini, banyak sekali pekerjaan di kantor, aku mau langsung tidur", padahal ibu ingin sekali mengatakan pada anaknya "makan dulu nak, ibu sudah masak makanan kesukaanmu hari ini, kamarmu juga sudah ibu rapihkan, semua pakaianmu sudah ibu cuci gosok dan rapih di lemari",

"Kakak capek, masih ngantuk, kamu pergi sekolah sendiri ya", padahal adik ingin bilang pada kakaknya "tolong aku hari ini piket pagi dan belum ada kendaraan umum yang lewat..aku juga janji pada teman-teman untuk melanjutkan kerja kelompok pagi ini",

"Saya sedih sekali.......", padahal belum usai pun ceritanya, dan langsung kita potong ucapan mereka "iya sama, saya juga sedih, kemarin kucing saya keracunan makanan", padahal ia ingin menceritakan bahwa ibunya sedang di opname di Rumah Sakit dan tidak ada yang menemaninya karena ayahnya sudah tiada, hingga akhirnya ia yang mendengarkan cerita sedihmu,

"Belum lama ini saya mengalami kekerasan, saya bingung harus cerita pada siapa", padahal ia membutuhkan semangat dari kita dan mengharapkan solusi terbaik, tapi kita meremehkan titik lemah mereka dengan berkata "kenapa bisa? mungkin karna kamu yang kurang ajar kali? dulu saya juga pernah dikeroyok sama tetangga.....". Bukan, itu bukan jawaban yang mereka ingin. Bahkan seringkali mereka hanya ingin ceritanya didengarkan, tidak lebih,

".....jadi begitu sebenarnya. Tolong jangan cerita pada siapapun, aku sudah percaya padamu", dan kemudian saat kita bertemu teman lainnya dengan ringannya kita menceritakan rahasia itu hingga akhirnya tidak hanya kita yang tahu tentang rahasia itu,

"Wah, timbanganmu naik banyak ya? Kok bajumu terlihat ketat sekali", padahal kita baru saja bertemu dengannya setelah 3 tahun tidak bertemu. Hingga akhirnya teman kita memikirkan ucapan yang dianggap remeh oleh orang, lalu ia melakukan diet keras sampai harus diopname karena hampir sebulan hanya makan sayur dan buah demi berat badan ideal seperti yang kita pikirkan.
dan
masih
banyak
hal
lainnya

Jadi, apakah hal kecil yang seringkali disepelekan itu masih akan tetap kita abaikan demi memenangkan ego sendiri yang tidak pernah puas?
Apakah akan seterusnya kita menganggap semua hal buruk karena kita ditakdirkan untuk menjadi orang yang sial?
Apakah masih sulit untuk belajar menghargai terhadap sesama?
Saya hanya manusia yang juga memiliki keterbatasan untuk menerima ucapan sesama. Ada kalanya saya merasa kecewa atas apa yang saya terima. Tapi, memang begitulah kehidupan. Tuhan menciptakan 2 tangan dan 2 telinga. Lebih baik kita menutup telinga oleh 2 tangan yang ada daripada menutup mulut orang lain hanya dengan 2 tangan yang tentu tidak akan pernah cukup.
Catatan terpenting untuk diri sendiri:

"Yang hilang boleh dicari, yang berlalu biarkan pergi, yang lampau tak dapat diulangi. Namun yang penting hari ini kita bisa menghargai."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mei

Sudah