Postingan

Menampilkan postingan dari 2018

Di Ujung Malam

Saat lampu-lampu itu mulai padam, Isi kepalaku mulai melayang-layang, jauh menembus batasan logika Kemudian ada tanda tanya terselip diantara khayalanku malam ini, aku siapa? Tentang rasa, aku tak banyak tahu Aku hanya ingat, dulu kita sering menanam rindu yang tidak pernah kita tuai Entah sekarang rindu itu milik siapa Kau sudah tidak mau mengakuinya Aku pun tak mampu mengumbarnya Ah, sial benar nasibku, dalam khayal saja aku masih tak berdaya Semoga saja aku cepat sadar dan segera menyalakan lampu-lampu itu lagi -d, 2018

Bilik Kecil

Di bilik kecil aku tersungkur Rias lampu temaram adalah kawanku Bayanganku melebur satu pada pekatnya gulita Lidah sembilu yang menjilatku tak pula kurasakan Pun lambai tanganku sendiri tak mampu kuraba Lalu, siapa aku di bilik kecil ini? Aku, si Pecundang April, 2018 -d

Tuan, Nona sendiri

Tuan, ini masih sore. Kenapa kau ingin buru-buru beranjak dari kursi di taman itu? Tidakkah kau lihat si nona itu berlarian sendiri di antara daun-daun yang terhembus angin sisa hujan tadi? Mungkinkah sudah ada yang menunggu kau di sebrang jalan itu? Tuan, mengapa kau hanya tersenyum kecut? Apakah di wajah si nona itu ada goresan luka sayatan duri mawar taman itu? Jangan kau diam, tuan. Dia hanya butuh seorang kawan sepertimu yang mampu menepiskan sepinya. Tuan, jangan buru-buru pergi Menetaplah di sore ini, satu sore yang pilu ini Sampai si nona lelah dan berhenti berlari diantara dedaunan basah itu dan membiarkan mereka gugur dimakan kemarau besok. Jakarta, -d

Pukul Satu Malam

Tepat pukul satu malam Aku rangkai kata demi kata Satu per satu Lalu diikat dengan makna Aku suka pukul satu malam Karena tidak ada dua Sama seperti ia Hanya satu dan berkesan Pukul satu malam Hanya ada aku dan suara guratan pensil Oh, satu lagi Dentingan jam dinding di tembok usang itu Tidak ada kesedihan Di pukul satu malam ini Bahkan suara kipas di dinding terdengar merdu malam ini Amboy... Semoga Tuhan segera turun ke bumi Di pukul satu malam ini Sudah tidak sabar bibir ini bercerita padanya Tentang isi kepalaku di pukul satu malam ini Jkt, Agustus 2018 -d

Secangkir Kopi yang Diberi Nama Kapucino

Di kedai itu mereka duduk Berhadapan dan sesekali bertukar pandang Diraihnya cangkir kopi panas itu Bukan kopi hitam yang dipesan Ia tak suka kopi hitam "Pahit" katanya Ia lebih suka kapucino yang harum Manis seperti yang sedang berada di sebrang pandangannya Mendengarkan pria itu bercerita Lebih nikmat daripada suara gitar Iwan Fals Tenang hatinya Sesekali dihirupnya kapucino itu dengan senyum Melihat simpul kecil di bibir pria itu Lebih sejuk daripada hujan di awal bulan Desember Teduh perasaannya Ia tak ingin cepat menghabiskan kapucino itu Kalau saja kedai itu buka 24 jam Barangkali ia akan duduk sampai besok Dengan bekal tiga cangkir kapucino Dan segurat simpul di bibir pria yang ada di sebrang matanya malam itu Agustus, 2018 -d

Tak perlu judul untuk rindu

Jelita malam, Inginkah kau mendengar suara batinku? Kala fajar tenggelam, aku terbunuh sepi Tercabik-cabik angin sendiri, menusuk Jika rindu menjadi candu Ingin engkau sebagai penawar Tapi dia, enggan berhenti menjadi obatku Jika paras menjadi syahdu Ingin engkau sebagai lagu Tapi dia, enggan berhenti bernyanyi untukku Bukan aku ingin mematahkan takdir Tapi rasa ini sudah padam untuknya Jelita malam, Engkau sulut api rindu Hingga mampu membakar takdirku atas dia Tak usah cemas, Tuhan akan memaafkan takdirku atas hadirmu Jakarta, Maret 2018 -d